Sabtu, 18 Mei 2013

Galau di Usia 54 Tahun

Perayaan ulang tahun ke-25 selalu dikatakan HUT perak. Bila sudah menginjak usia 50 maka disebut HUT emas. Usia 50 tahun jelas bukanlah usia umur jagung, sudah banyak makan asam garam dalam berbagai hal, termasuk dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada. Namun nampaknya tidak begitu dengan nasib pendidikan di bumi pertiwi tercinta ini. Sejak pemerintahan Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 316/1959 tanggal 16 Desember 1959 tentang penetapan hari besar nasional termasuk didalamnya tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Secara tegas Presiden Soeharto dalam pidatonya mengukuhkan HARDIKNAS ini pada tahun 1967. Lima puluh empat tahun sudah hari pendidikan di negeri kita tercinta diperingati. Sudahkah pendidikan di tanah air menorehkan tinta emas?

Bangga menyeruak di saat terdengar anak bangsa mengharumkan nama Indonesia lewat pentas Internasional diberbagai ajang kompetisi. Olimpiade Matematika, IPA, atupun bidang lainnya yang bisa membuat dada kita dibusungkan. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Diundangkannya UU Guru dan Dosen yang menandai perlindungan dan jaminan dari sisi kesejahteraan tenaga pendidik membuat wajah pendidikan di Indonesia mulai menemui titik terang meski tetap harus dilakukan penyempurnaan dan evaluasi di lapangan.

Pemerintah senantiasa berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai hal ditempuh demi memenuhi tujuan nasional sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu indikator keberhasilan pendidikan adalah output (kualitas dari lulusan). Untuk mendapatkan lulusan yang bermutu maka diperlukan proses yang berkualitas tidak hanya melulu input (masukan) yang baik atau hanya sekedar kelulusan saat evaluasi. Maka memaksakan hasil ujian nasional sebagai alat kelulusan adalah sesuatu yang dinilai banyak pihak kurang bijak atau bahkan tidak adil.

“Bumerang” adalah kata yang mungkin cocok jika melihat peristiwa tidak mulusnya pelaksanaan Ujian Nasional tahun ini. Bagaimana tidak, gugatan kelompok orang tua untuk mengakhiri pelaksanaan Ujian Nasional telah dimenangkan. Namun pemerintah ngotot untuk tetap melaksanakannya. Hanya sayang seribu sayang ternyata ujian nasional kali ini khusunya untuk SMA/SMK sederajat tidak dapat dilaksanakan secara serentak. Buruknya kualitas kertas LJK, nyasarnya paket soal UN salah satu sekolah di salah satu kabupaten ke daerah lain, buruknya kualitas gambar yang tersaji dalam soal, atau bahkan tidak adanya stiker bertuliskan dokumen negara/rahasia negara untuk menyegel amplop LJK pada hari terakhir UN, menambah buram wajah pendidikan.

Hal lain yang dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan adalah dengan melakukan pengamatan terhadap kurikulum yang diterapkan di sekolah. Merevisi kurikulum adalah sah karena adanya asas flexibilitas dimana kurikulum dapat diubah sesuai dengan kebutuhan siswa dan tuntutan zaman. Namun tentunya tidak berarti merevisi kurukulum dapat dilakukan tanpa melibatkan banyak pihak. Dan tentunya harus senantiasa memandang berbagai aspek penting. Jika tidak, maka akan menambah ketidakpastian bagi pelaku pendidikan di lapangan. Sebagimana kita ketahui bersama saat di akhir tahun 2012 pemerintah mengumumkan akan menerapkan kurikulum yang baru yaitu kurikulum 2013. Segera pemerintah melakukan uji publik yang salah satu diantaranya melalui media internet. Namun uniknya, meski pemerintah mengatakan telah melakukan uji publik dan menyerap aspirasi tetapi banyak masyarakat di dunia pendidikan yang tidak merasa puas dan bahkan bertanya-tanya seperti apa bentuk kurikulum 2013 ini. Pemerintah akan melakukan sosialisasi menjelang tahun ajaran baru dimulai. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan dibenak, “Cukup waktu kah untuk menerapkan secara serentak kurikulum baru?” atau “Jangan-jangan nanti seperti pelaksanaan Ujian Nasional yang tidak berjalan mulus?” mungkin juga “Apakah nantinya sesuai kurikulum ini diterapkan?” atau “Jangan-jangan baru digulirkan hanya seumur jagung dan diganti lagi?”. Oh tidak, mungkinkah wajah pendidikan kita sedang GALAU DI USIA 54 TAHUN.
(tayang pada majalah OPSI Majalengka-Sumedang-Subang Edisi 02/tahun pertama)