Rabu, 26 Desember 2012

Kurikulum 2013


    Baru-baru ini Kementrian Pendidikan Nasional telah melakukan uji publik terhadap kurikulum baru yang akan diterapkan pada tahun ajaran 2013 - 2014. Hal ini dilatarbelakangi dengan beberapa alasan, yang diantaranya bahwa siswa Indonesia kurang mampu menyelesaikan soal-soal dengan kategori analisis dibandingkan dengan siswa dari luar. Sedangkan untuk masalah hafalan siswa kita lebih unggul dari siswa luar. Hal ini menjadi salah satu penggerak digagasnya kurikulum baru yang lebih menekankan pada pembelajaran yang seutuhnya berpusat pada siswa.
Hal lain yang menjadi pemikiran adalah sering terjadinya tawuran antar pelajar yang terakhir kali merenggut nyawa salah satu siswa SMA/SMU di salah satu sekolah di Ibu Kota.

Pemangku jabatan yang terkait dengan kurikulum memandang bahwa kurikulum yang baru harus mampu menjaga siswa agar terhindar dari hal-hal penyimpangan remaja seperti tawuran ataupun hal lainnya seperti gank motor, minuman keras ataupun narkoba. Bahkan kurikulum baru diharapkan dapat memberikan pesan moral sehingga para remaja sebagai generasi pengganti dan penerus bangsa memiliki akhlakul karimah jauh dari sikap korupsi yang marak terjadi saat ini.

     Namun niat baik dan tujuan mulia ini pastinya tidaklah akan menjadi sesuatu hal yang sempurna. Ideal dalam konsep belum tentu sesuai dalam pelaksanaan. Belum diterapkan muncul berbagai problema yang masuk akal. Perubahan mata pelajaran akan menyebabkan "kegalauan" setidaknya untuk kurun waktu 2 atau tiga tahun ke depan. Buku raport yang sudah terlanjur mengikuti kurikulum sebelumnya harus menjadi bahan pemikiran. Kesiapan tenaga pendidik untuk melakukan bimbingan terhadap siswa yang "dikurung" di Sekolah menjadi kendala terutama bagi tenaga pendidik yang belum menerima sertifikasi. Bagaimana tidak, kesempatan untuk mengais rejeki di tempat lain harus berkurang karena jam pelajaran yang bertambah sementara kesejahteraan belum maksimal.
      Dalam masa uji publik beberapa waktu yang lalu, kurikulum baru yang dirancang menuai protes dari berbagai kalangan. Terutama dikalangan civitas pengampuh beberapa mata pelajaran yaitu IPA, IPS, terutama muatan lokal bahasa ibu (misal: Bahasa Sunda, Bahasa Bali, Bahasa Jawa ataupun bahasa daerah lainnya). Civitas yang tergabung dalam muatan lokal merasa terancam eksistensinya dengan kurikulum baru. Mereka bertanya-tanya akankah muatan lokal Bahasa Ibu dihilangkan?Bila ya, bagaimana nasib tenaga pendidik lulusan jurusan tersebut ataupun bahkan generasi penerus yang sedang meretas di bangku kuliah? Gelombang protes melalui berbagai aksi dilakukan agar tentu saja hal tersebut tidak terjadi.




      Semua ini tentunya harus menjadi bahan pertimbangan yang mendalam. Juga tentunya penyampaian informasi yang utuh dari para pemangku kebijakan. Jangan sampai para pelaku pendidikan di lapangan yang menjadi korban isu-isu yang tidak pasti sehingga menyedot perhatian mereka dalam mengabdi. 
      Sebagai bagian dari dunia pendidikan, penulis yakin bahwa tidak ada niat dari pemangku jabatan untuk merubah kurikulum sekedar "proyek atas nama amanat UUD" semata. Namun niat untuk menjadikan pendidikan sebagai tonggak utama dalam membangun bangsa. Wallohualam bissawab. Semoga Alloh memberikan yang terbaik bagi bangsa kita. Amin.